Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا وَلَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي
“Jangan kamu jadikan kuburanku sebagai tempat ‘ied, dan jangan jadikan rumah-rumahmu bagaikan kuburan, dan dimana saja kamu berada, bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kamu akan sampai kepadaku”.
Hadits ini dikeluarkan oleh imam Ahmad dalam musnadnya dan Abu Dawud dalam sunannya dari jalan Abdullah bin Nafi’ akhbarani ibnu Abi Dzi’ib dari Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah secara marfu’. Dan sanad ini adalah sanad yang Hasan sesuai dengan syarat Muslim.
Dan hadits ini mempunyai syahid yang menguatkannya, di keluarkan oleh ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya:
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الحُبَابٍ ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ إبْرَاهِيمَ مِنْ وَلَدِ ذِي الْجَنَاحَيْنِ ، قَالَ : حدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ ، أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يَجِيءُ إلَى فُرْجَةٍ كَانَتْ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَيَدْخُلُ فِيهَا فَيَدْعُو فَدَعَاهُ ، فَقَالَ : أَلاَ أُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ أَبِي ، عَنْ جَدِّي ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ وَتَسْلِيمَكُم يَبْلُغُنِي حَيْثُ مَّا كُنْتُمْ.
“Haddatsana Zaid bin Al Hubab haddatsana Ja’far bin Ibrahim dari anak Dzil Janahain, haddatsani Ali bin Umar dari ayahnya dari Ali bin Al Husain bahwa ia melihat seseorang mendatangi sebuah tempat di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berdo’a, maka beliau memanggilnya dan berkata: “Maukah aku sampaikan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan kamu jadikan kuburanku sebagai tempat ‘ied, dan jangan jadikan rumah-rumahmu bagaikan kuburan, dan dimana saja kamu berada, bershalawatlah kepadaku, karena shalawat dan salam kamu akan sampai kepadaku dimana saja kamu berada”.
Di dalam sanad hadits ini terdapat Ali bin Umar bin Ali bin Al Husain, dikatakan oleh Al Hafidz ibnu hajar: “Mastur”. Namun hadits ini dapat mengangkat hadits Abu Hurairah karena kelemahan hadits ini adalah kelemahan yang tidak berat, dan imam Abdurrazzaq meriwayatkan jalan lain dalam mushannafnya dari jalan Ats Tsauri dari ibnu ‘Ajlan dari seorang laki-laki yang bernama Suhail dari Al Hasan bin Al Hasan bin Ali bahwa ia melihat suatu kaum berada disisi kuburan, maka beliaupun melarangnya dan berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَصَلُّوا عَلَيَّ حَيْثُ مَّا كُنْتُمْ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي.
“Jangan kamu jadikan kuburanku sebagai tempat ‘ied, dan jangan jadikan rumah-rumahmu bagaikan kuburan, dan dimana saja kamu berada, bershalawatlah kepadaku, karena shalawat dan salam kamu akan sampai kepadaku dimana saja kamu berada”.
Dan sanad hadits ini kuat namun mursal, akan tetapi ia dapat menguatkan derajat hadits Abu hurairah, sehingga kesimpulannya bahwa hadits Abu Hurairah adalah hadits yang shahih.
Hadits ini menunjukkan larangan menjadikan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat ‘ied. Dan makna ‘ied adalah tempat yang dituju untuk berkumpul dalam rangka ibadah, sebagaimana masjidil haram, Mina, Muzdalifah dan ‘Arafah dijadikan oleh Allah sebagai tempat ‘ied untuk manusia berkumpul, mereka berdo’a, berdzikir dan melaksanakan manasik.
Dahulu kaum musyrikin mempunyai tempat-tempat yang dijadikan untuk berkumpul, ketika islam datang, Allah hapuskan semua itu. Dan larangan menjadikan kuburan sebagai ‘ied masuk padanya kuburan para Nabi dan orang-orang shalih. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan kuburannya sebagai tempat ‘ied, padahal kuburan beliau adalah kuburan yang paling utama di muka bumi ini, maka kuburan yang lainnya lebih utama dilarang[1].
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “dan jangan jadikan rumah-rumahmu bagaikan kuburan..”. Beliau melarang mengosongkan rumah dari dzikir, ibadah dan do’a. Ini menunjukkan bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, dzikir dan do’a, dan itulah yang difahami oleh tabi’in mulia dari kalangan ahlul bait yaitu Ali bin Al Husain dan Al Hasan bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagaimana telah kita sebutkan riwayatnya, keduanya mengingkari orang yang sengaja berdo’a di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhujjah dengan hadits tersebut. Dan keduanya adalah ahlul bait dan tinggal di kota Madinah, tentu mereka berdua yang paling faham tentang apa yang diinginkan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut.
Demikian juga shalat di perkuburan adalah perkara yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat di antara perkuburan”. Dikeluarkan oleh Al Bazzar dari beberapa jalan dari Anas, dan Al Haitsami berkata dalam Majma’nya (2/27): “Rijalnya Rijal shahih”.[2]
Maka apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang berkumpul di perkuburan pada hari tertentu atau bulan tertentu adalah perbuatan yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dalam hadits tersebut. Dan ini tidak bertentangan dengan anjuran Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam untuk berziarah kubur, karena berziarah kubur adalah perkara yang disyari’atkan dalam agama, namun berziarah kubur dengan ditentukan pada hari tertentu dan berkumpul disana, dengan membuat ritual tertentu adalah perbuatan menjadikan kuburan sebagai ‘ied yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan masuk ke dalam larangan hadits ini juga bertabarruk dengan kuburan para Nabi, dan orang-orang shalih dengan cara duduk di sisi kuburan untuk membaca al qur’an, dan berdzikir kepada Allah, karena telah kita sebutkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Demikian pula memegang kuburan dan menciumnya, karena para ulama telah menjelaskan keharamannya, seperti Al Qadli ‘Iyadl dalam kitab Asy Syifaa (2/85), imam Ghazali dalam ihya ‘ulumuddin (1/259), Ath Thurthusyi dalam Al Hawadits wal bida’ (hal 148), ibnu Qudamah dalam Al Mughni (3/559), An Nawawi dalam Al Idlah (hal 161), ibnul Haj dalam Al madkhal (1/263) dan As Suyuthi dalam Al Amru bil Ittiba’ (hal 125), dan imam Al Ghazali rahimahullah menyatakan bahwa itu perbuatan kaum Yahudi dan Nashara[3].
Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Tidak ada di dunia ini benda yang disyari’atkan untuk dicium kecuali hajar aswad, dan disebutkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, bahwa Umar radliyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu hanyalah batu yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudlarat, kalau bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, aku tidak mau menciummu”.[4] [1] iqtidla ash shiratil mustaqim hal 55-56, lihat ahkamul janaiz hal 281.
[2] Ahkamul janaiz hal 270. [3] Ihya ‘ulumuddiin 1/271. [4] Majmu’ fatawa 27/79.